Portal Berita Olahraga – Psikolog anak Seto Mulyadi mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak negatif dari permainan video dan konten digital yang mengandung unsur kekerasan. Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu menyatakan bahwa kekerasan yang kerap terjadi di kalangan anak dapat dipicu oleh permainan video yang memuat unsur kekerasan.
Kak Seto menekankan bahwa bullying saat ini bukan hanya berupa ejekan verbal, tetapi sudah berubah menjadi kekerasan fisik. Bahkan dalam beberapa kasus, perilaku tersebut sudah mencapai tingkat yang tidak manusiawi.
Seto juga menyoroti kasus geng motor yang berakhir dengan kekerasan saling serang. Ia berpendapat bahwa kondisi ini sangat mirip dengan adegan di beberapa permainan video atau film.
Oleh karena itu, Seto berharap pemerintah, khususnya Kementerian Kominfo (Kemkominfo), segera mengambil langkah tegas untuk melindungi anak-anak. Baik video game maupun konten digital yang ada mengandung unsur kekerasan harus segera di hapus.
“Kominfo memiliki sumber daya untuk melakukan itu. Jangan sampai terlambat,” jelasnya dalam sebuah pernyataan tertulis.
Selain unsur kekerasan, konten negatif lainnya seperti pornografi dan radikalisme juga harus dihindari oleh anak-anak.
Anak Membutuhkan Pengaruh Positif ungkap Seto Mulyadi
Pria yang dikenal sebagai Kak Seto itu mengatakan bahwa anak-anak membutuhkan rangsangan positif dalam perkembangannya. Ini penting agar anak-anak dapat membangun karakter yang baik, seperti moral yang tinggi, gotong royong, dan kerja sama. Karakter positif ini dapat berkembang dari konten yang mereka konsumsi.
“Hal itu bisa didapat dari buku, musik, program televisi, hingga permainan video,” ujarnya di Jakarta pada Kamis (11/3).
Namun, jika konten-konten tersebut mengandung unsur kekerasan, yang akan berkembang dalam diri anak bukanlah karakter positif. Justru sebaliknya, karakter negatiflah yang akan tumbuh.
Risiko Permainan Video Genre Battle Royale
Psikolog Stenny Prawitasari menjelaskan bahwa permainan video bergenre battle royale memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional anak-anak.
“Permainan seperti Free Fire memuat adegan kekerasan intens, termasuk pertempuran dan penggunaan senjata. Bermain game seperti ini secara berulang kali akan membuat anak-anak kehilangan sensitivitas terhadap kekerasan. Sehingga memungkin mereka menjadi tidak peka akibat nyata dari tindakan kekerasan,” jelasnya.
Penelitian menunjukkan korelasi antara bermain game yang mengandung kekerasan dengan peningkatan agresi pada anak-anak. Dalam lingkungan persaingan permainan battle royale. Anak-anak mungkin akan lebih rentan terhadap perilaku yang agresif, seperti mengeluarkan kata-kata kasar atau mengungkapkan kemarahan saat kalah bermain.
“Hal ini bisa membuat anak mengalami keterlambatan untuk untuk berkembang saat bersosial dan komunikasi dengan orang lain,” tambahnya.
Memerlukan Perhatian Serius dari Pemerintah
Stenny menegaskan bahwa pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap dampak permainan video online pada anak-anak. Upaya ini membutuhkan penguatan regulasi dan aturan yang mengatur penggunaan permainan video online, khususnya bagi anak-anak.
“Pentingnya regulasi bertujuan untuk menjaga kesehatan mental dan emosional anak-anak. Pembatasan akses dan pengawasan terhadap konten permainan video yang mengandung kekerasan dan tidak sesuai usia anak harus di perkuat untuk melindungi generasi mendatang dari dampak negatif.”
Peran Penting Orangtua dalam Menjaga Kesehatan Mental Anak
Menurutnya, tidak hanya pemerintah yang perlu berperan, tetapi orangtua juga memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan mental anak-anak saat bermain permainan video online. Orangtua perlu aktif terlibat dalam memantau dan mengatur waktu bermain anak-anak, serta memberikan panduan tentang konten yang aman dan sesuai usia mereka.
“Kerjasama antara pemerintah dengan lebih tegas mengenai regulasi serta peran aktif orangtua ketika mendidik anak tentang video game lebih bertanggung jawab. Dengan begitu di harapkan bisa tercipta lingkungan sehat yang lebih aman bagi perkembangan anak-anak era digital ini.”
(sumber berita, Liputan6.com)